
Di dunia pengembangan perangkat lunak, pergeseran paradigma kini berlangsung cepat. Jika dulu semua aplikasi lahir dari baris-baris kode yang ditulis manual oleh developer profesional, kini platform low-code dan no-code menawarkan jalan pintas yang tak kalah powerful. Pertanyaannya bukan lagi sekadar bagaimana membuat aplikasi, tetapi siapa yang bisa membuatnya. Apakah masa depan akan dikuasai oleh citizen developer dengan drag-and-drop, atau masih akan berpijak pada keahlian pemrograman murni?
Low-code dan no-code hadir dari kebutuhan akan kecepatan dan inklusivitas. Di tengah ledakan digitalisasi, permintaan terhadap aplikasi jauh melampaui kapasitas developer profesional. Platform seperti OutSystems, Mendix, hingga Microsoft Power Apps memungkinkan pengguna non-teknis membangun aplikasi bisnis dalam hitungan hari—bahkan jam. Gartner memprediksi bahwa pada 2025, lebih dari 70% aplikasi enterprise akan dikembangkan menggunakan teknologi low-code/no-code, naik signifikan dari hanya 25% pada 2020.
Namun, kecepatan bukan satu-satunya daya tarik. Dalam studi kasus yang dilakukan oleh Forrester, sebuah perusahaan retail besar berhasil meluncurkan sistem internal untuk manajemen inventaris hanya dalam dua minggu menggunakan platform low-code, dibandingkan perkiraan awal dua bulan jika dibangun secara pro-code. Ini menunjukkan dampak efisiensi waktu dan biaya yang nyata.
Tapi bukan berarti era pro code berakhir. Justru, ia berkembang lebih spesifik dan strategis. Pro code tetap dibutuhkan untuk membangun arsitektur kompleks, integrasi sistem yang dalam, serta fitur yang membutuhkan kontrol tingkat tinggi terhadap performa dan keamanan. Selain itu, low-code dan no-code sering kali dibangun di atas platform yang ditulis oleh para pro-coder—menjadikan mereka bukan pesaing, melainkan bagian dari ekosistem yang saling melengkapi.
Realitasnya, masa depan pengembangan perangkat lunak adalah tentang kolaborasi. Di satu sisi, low-code dan no-code mendemokratisasi inovasi: siapa pun bisa menjadi pembuat solusi digital. Di sisi lain, pro code tetap menjadi pilar utama untuk membangun fondasi teknologi yang kuat, aman, dan dapat diskalakan. Ini bukan soal memilih satu dan meninggalkan yang lain, tetapi tentang memahami kapan menggunakan apa.
Untuk mahasiswa dan profesional IT, penting untuk mengasah dua sisi keahlian: logika pemrograman yang kuat dan kemampuan beradaptasi dengan platform otomatisasi. Karena ketika teknologi berubah, yang paling dibutuhkan bukan hanya skill teknis, tapi juga fleksibilitas cara berpikir.
Maka dari itu, baik low-code, no-code, maupun pro code punya tempat masing-masing. Masa depan bukan milik satu pendekatan, melainkan milik mereka yang mampu memahami lanskap teknologi secara utuh dan tahu bagaimana merangkai solusi terbaik dari berbagai alat yang tersedia.
Referensi Ilmiah
- Gartner. (2021). Forecast: Enterprise Low-Code Application Platforms, Worldwide, 2020–2025.
- Forrester. (2020). The Forrester Wave™: Low-Code Development Platforms For AD&D Professionals.
- Pereira, C., et al. (2022). Low-code development platforms: A systematic literature review. Journal of Systems and Software.
- Waseem, M., et al. (2021). A Comparative Analysis of Low-Code/No-Code Platforms in Industry. IEEE Access.
- Mendix Whitepaper. (2023). Building Future-Proof Applications With Hybrid Development Approaches.